Sumber : Kompas/ Mathias Hariyadi

Siapakah Munir?

Antek asing, sebutan Munir dari para militer orde baru. Pria kelahiran Kota Batu 1965 yang menyuarakan nasib kaum tertindas Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, meninggal tepat 20 tahun silam. Perannya sebagai aktivis penegak hak asasi menjadi ancaman bangsa yang kala itu otoriter. Bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Munir terus berjuang sebagai advokasi terusutnya pencarian orang hilang. Sayangnya justru menimbulkan penolakan dalam usahanya menegakkan keadilan. Beberapa diantaranya adalah citra buruk bagi angkatan udara meluas, Tragedi Semanggi, dan Operasi Jaring Merah di Aceh. Oleh karenanya, Munir acap kali menjadi korban militerisme politik perburuhan dan telah mengalami banyak ancaman karena dianggap membahayakan pemerintah yang berkuasa saat itu.

 

Munir diketahui bersentuhan langsung dengan berbagai ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi karena profesinya sebagai pekerja bantuan hukum di Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Munir selalu berdiri di garda terdepan untuk meneriakkan perjuangan hak asasi serta politik yang bebas dari kekerasan. Berkat kerja kerasnya bersama rekan-rekan di KontraS, Munir berhasil membongkar rangkaian peristiwa penculikan aktivis, menyebabkan sejumlah pelaku berhasil di seret ke pengadilan. Ia terus bergerak dan menyelam ke berbagai area kelam dalam politik kotor di Indonesia.

 

Pengalaman Advokasi Berbasis Kasus: KontraS dan Munir 1998-2004

● Kasus orang hilang menjadi cikal bakal kemunculan Munir sebagai tokoh HAM di Indonesia.

● Penembakan mahasiswa di Trisakti-Semanggi serta Tragedi 98 yang menewaskan 4 mahasiswa oleh petugas militer. Hingga kini, tragedi ini hanya berhenti di Mahkamah Agung.

● Kasus Bumi Timor Timur. Penembakan dan pembunuhan massal yang ada menjadi gerbang baru kelanjutan konflik Munir, dimana ia terlibat dalam investigasi Komisi Penyelidik Pelanggar (KPP) HAM Timor Timur.

● Pembunuhan massal di Talangsari, Lampung, dimana terjadi investigasi pada persinggungan dengan Hendropriyono. Dalam kasus ini ketegangan semakin meningkat ketika sejumlah korban dan komunitas HAM membawa kasus tersebut ke mekanisme pengadilan HAM.


Sumber : Kompas/ Arbain Rambey


Keberangkatan Munir dari Bandara Soekarno-Hatta pada 6 September 2004 menuju Amsterdam, berujung pada peristiwa mengenaskan. Tujuannya untuk memenuhi hasrat akan pengetahuan dengan menempuh studi magister dalam bidang internasional Perfection of Human Right di Utrecht University, akhirnya gugur. Pesawat negara GA 97A kapasitas 418 dengan tiga kelas, yaitu bisnis, ekonomi, dan premium, menjadi tempat terakhirnya bernapas.

 

Munir tewas diracun pada pesawat yang ditumpanginya. Tak disangka pelepasan di Bandara Soekarno-Hatta merupakan perjumpaan terakhir Munir dengan istriya, Suciwati. Jasad Munir di dalam pesawat megandung senyawa arsenik yang kemungkinan besar diberikan oleh awak kapal terbang tersebut. Pilot yang awalnya menjadi tersangka, kini dibebaskan dan menyisakan tanda tanya atas dalang kepergian Munir.

 

Bagaimana bisa pengusutan sang penegak hak asasi ini menjadi isu yang sangat besar hingga kini? Pembunuhan Munir dapat dipastikan sebagai pelanggaran HAM berat. Akses pembunuhan tidak mungkin dilakukan oleh orang biasa, jelas merupakan pembunuhan rapi yang terstruktur. Munir merupakan tokoh penting bagi Indonesia. Akan tetapi, sosok yang menjadi terpidana hanyalah seorang pilot yang dibebaskan bersyarat oleh peraturan menteri dengan alasan telah memenuhi persyaratan masa pidana dan berkelakuan baik.

Dimana letak keadilan bagi Munir Said Thalib?

 

Redaktur: Alvina Regita, Alfina, Naura

Editor: Citrawati Nur Feby Dinata


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama