Sumber : www.historyofcirebon.id

Tanjung Priok, nama yang sudah tidak asing di telinga kita. Wilayah yang dikenal sebagai tempat lalu lalang kapal dengan perputaran aktivitas yang tidak pernah berhenti untuk sektor perekonomian Indonesia. Priok kemudian menjadi wilayah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi dan diisi oleh orang-orang yang menjadi tulang punggung untuk keluarga mereka. Awal tahun 1980-an, Indonesia mengalami guncangan ekonomi dimana anjloknya harga minyak dunia menyebabkan krisis menyeluruh, tak terkecuali di Tanjung Priok.

Pemerintah kemudian mengambil langkah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebanyak 60% dari harga semula yang mulai diterapkan pada 4 Januari 1982. Sontak, hal tersebut menuai kepanikan dari masyarakat yang membuat harga-harga menjadi lebih mahal, mulai dari barang, transportasi, hingga tarif listrik. Dampak lain dari kenaikan harga tersebut adalah keputusan pemerintah untuk membatalkan setidaknya 200 kapal untuk berlabuh yang semakin memperkeruh kondisi ekonomi masyarakat di kawasan pelabuhan.


Masalah-masalah tersebut berdampak juga terhadap tingkat inflasi yang meningkat. Pada tahun 1982 inflasi di Indonesia berada pada level 9,06%, lalu naik signifikan pada tahun 1983 menjadi dua kali lipat yaitu 13,52%, dan di tahun 1984 meningkat menjadi 15,35%. Bak jatuh tertimpa tangga, Indonesia juga mengalami gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang membuat kondisi semakin sulit. Masyarakat yang sudah geram dengan keadaan mulai mengkritik pemerintah orde baru melalui ceramah-ceramah di masjid hingga penyebarluasan pamflet kritikan. Pamflet-pamflet kritikan terhadap orde baru ditempel di masjid maupun musala, salah satunya di Musala Assa’addah Kecamatan Koja, Tanjung Priok.


Penyebarluasan pamflet memicu keributan antara aparat dengan warga. Tanggal 8 September 1984 seorang aparat bernama Sertu Hermanu mendatangi musala. Ia masuk tanpa melepas sepatu dan meluapkan amarah, meminta pengurus untuk menyerahkan pamflet yang ada di sana. Hal tersebut memicu amarah warga setempat dan menuntut permintaan maaf dari Hermanu. Hermanu tidak menghendaki hal tersebut karena ia hanya melaksanakan tugasnya. Warga yang mengetahui hal itu semakin marah hingga membakar motor milik Hermanu. Namun, aparat Kodim 0502 datang secara tiba-tiba dan menangkap Syarifufin Rambe, Syafwan bin Sulaeman, Mohammad Noor (pembakar motor), dan Ahmad Sahi (pengurus musala).


Pada 12 September 1984, warga Priok pun menuntut pembebasan empat orang tersebut di bawah pimpinan Amir Biki namun tidak dikabulkan. Setelahnya, mereka mengadakan kegiatan ceramah untuk menyinggung pembebasan empat warga dan diskriminasi terhadap kelompok Islam. Pukul 22.00 WIB, Amir Biki mengancam akan melakukan pengerusakan apabila tuntutan tidak dikabulkan. Sayangnya hal itu dihiraukan aparat. Satu jam setelahnya, sekitar 1500 orang dengan membawa senjata tajam, mendatangi aparat untuk meminta pembebasan empat warga tersebut.


Massa bergerak dengan masif dan mulai tidak terkontrol hingga aparat kesulitan menanggulanginya. Alhasil, aparat mengeluarkan tembakan yang mengarah ke massa dan secara tiba-tiba ratusan orang berlumuran darah. Korban yang masih berusaha bangkit dan lari, ditembak lagi dengan bazoka. Seketika jalanan dipenuhi oleh orang tak bernyawa, sedangkan korban lain yang memiliki luka tidak terlalu parah berlindung ke tempat-tempat di sekitarnya. Akan tetapi, tembakan masih terus berlanjut.


Semua korban hanya boleh dibawa ke Rumah Sakit Militer, sedangkan rumah sakit umum tidak diperbolehkan menerima pasien dari tragedi tersebut. Berdasarkan catatan Komnas HAM, 79 orang menjadi korban, 55 orang menderita luka-luka, 23 orang dinyatakan tewas, dan puluhan orang ditangkap lalu ditahan tanpa kejelasan, serta beberapa lainnya dinyatakan hilang.


Setelah menggambarkan suasana ketegangan awal di Musala Assa'addah dan bentrokan yang terjadi pada tanggal 12 September 1984, penting untuk memahami konteks yang lebih luas dari tragedi Tanjung Priok ini. Peristiwa Tanjung Priok bukan hanya insiden lokal, melainkan bagian dari dinamika sosial dan politik yang lebih besar di Indonesia pada masa orde baru.


Selain kenaikan harga BBM, kebijakan lain yang juga memicu ketegangan di Tanjung Priok adalah pemotongan subsidi pemerintah terhadap kebutuhan pokok dan penghapusan berbagai insentif bagi sektor-sektor tertentu. Kebijakan ini membuat harga bahan-bahan pokok seperti beras, gula, dan minyak goreng melonjak tajam. Selain itu, pemerintah juga membatasi subsidi untuk sektor transportasi publik, yang berdampak langsung pada kenaikan tarif angkutan umum. Kenaikan ini sangat dirasakan oleh masyarakat yang bergantung pada transportasi umum untuk bekerja, terutama di daerah pelabuhan seperti Tanjung Priok, yang merupakan pusat aktivitas ekonomi dengan mobilitas tinggi.


Dampak dari peristiwa ini juga terasa dalam jangka panjang. Banyak korban yang tidak mendapat keadilan, sementara pemerintah orde baru berupaya menutup-nutupi tragedi tersebut. Informasi tentang kejadian ini di masa orde baru sangat minim karena kontrol ketat terhadap media massa, sehingga banyak fakta yang tidak terungkap secara jelas pada waktu itu. Setelah era reformasi, tragedi ini mulai diangkat kembali dan investigasi oleh Komnas HAM menemukan sejumlah pelanggaran HAM berat yang terjadi.


Peristiwa Tanjung Priok menjadi salah satu contoh dari bagaimana kebijakan represif dan kekerasan negara terhadap warga sipil dapat menimbulkan trauma sosial yang panjang. Hingga kini, peristiwa tersebut terus menjadi pengingat akan pentingnya dialog, keadilan, dan penghormatan terhadap HAM dalam menyelesaikan konflik di tengah masyarakat. Tragedi ini juga menunjukkan betapa pentingnya peran institusi HAM dalam mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan kepada korban-korban pelanggaran HAM di masa lalu.



Sumber:

1. Kompas

2. Tempo

3. KOMNAS HAM 2006

4. Puspitasari, Rini. "Tragedi Tanjung Priok: Luka yang Belum Terobati." Jurnal Sejarah Indonesia, 2019.


Redaktur: Angger, Wafa, Risma

Editor: Dias


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama