“Kuliah dimana pun sama aja” adalah kalimat yang sering kita dengar dari orang-orang yang memang perspektifnya agak miring. Sekarang mari kita bedah per katanya, kawan!


Kata “dimana pun” tidak mengindikasikan pengecualian pada suatu hal. Sementara kata “sama” berdasarkan KBBI berarti serupa (halnya, keadaannya, dan sebagainya), tidak berbeda, tidak berlainan. Maka dari itu, kalimat ini sudah cukup menunjukkan makna tanpa pengecualian pada konteks apa pun.


Makna kalimat itu menunjukkan bahwa orang-orang menyamaratakan semua jenis kampus. Sedihnya lagi ya kawan, mereka mengatakan kalimat tersebut dengan doktrin yang diperhalus, seperti “berlian dimana pun akan tetap kelihatan kok, bahkan di tengah-tengah jerami sekalipun”.


Nyatanya, kehidupan perkuliahan, nggak bisa dipukul rata dengan doktrinasi itu. Walaupun seringkali kita melihat atau mendengar kisah orang yang semasa SMA pintar, ketika di kampus tetap aktif dan ngambis. Menjadi mahasiswa berprestasi, dapat beasiswa sampai jadi wisudawan/wisudawati terbaik.


Tapi coba kita ubah pandangan kita pada kasus ini:


Linda berasal dari Y (kampus besar yang bergengsi) dan Ika berasal dari kampus X (kampus kecil yang kurang bergengsi). Mereka sama-sama menjuarai lomba karya tulis ilmiah nasional. Linda mendapat apresiasi dari kampusnya berupa sertifikat mahasiswa berprestasi dan uang pembinaan. Sementara itu, Ika hanya mendapat sertifikat, bahkan hanya berupa soft file. Upss.


Bagaimana, kawan?


Inilah yang sering membuat beberapa mahasiswa mengikuti lomba secara individu atau lomba umum tanpa embel-embel delegasi kampus. Ya mau gimana lagi, orang pakai nama kampus aja nggak ada kontribusi kampus ketika proses lomba, apalagi apresiasi ketika juara. Ya walaupun ada juga kampus yang sangat apresiatif dengan mahasiswa berprestasinya, tapi masih ada unsur kebutuhan loh, di sini. Misalnya apresiasi berupa upload pamflet kejuaraan mahasiswa dan menggenjot pengisian data mahasiswa berprestasi sehingga kampus kelihatan bergengsi, tanpa disertai insentif.


Belum lagi permasalahan terkait fasilitas di kampus. Seringkali, kita dengar statement “UKT elit, fasilitas sulit”.


Suatu kampus menetapkan UKT yang sama dengan kampus bergengsi lainnya, namun fasilitas yang ada jauh di bawah kata layak. Kita lihat contoh spesifiknya saja ya, kawan.


Salah satu kampus membuka program studi yang berkaitan dengan bioteknologi, tapi laboratorium kultur jaringan nggak ada, alat dan bahan praktikum cari sendiri atau bahkan ketika kunjungan lapangan, rental bus dari luar.


Geser ke layanan pendukung akademik dan teknisi ITE setiap kampus. Web sering eror, tidak ada sosialisasi penggunaan layanan tersebut, dan masih banyak permasalahan lagi. Lantas di sini bagaimana bisa mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi yang sebaik-baiknya? Bagaimana bisa mahasiswa dituntut untuk menjadi agent of change, padahal seringkali orang pusat juga anti kritik.


Memang sulit kalau pembahasannya mengenai regulasi pendidikan hingga upaya humanisme (apresiasi) kepada mahasiswa. Persoalan ini mau disalahkan ke siapa, coba? Rektor? Wakil rektor kemahasiswaan? Dosen? Tendik? Lord Menteri Pendidikan Bapak Nadiem Makarim? Aneh memang pendidikan Indonesia.

 


Penulis: Mufadlotul Izzah

Editor: Citrawati Nur Feby Dinata

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama