Sumber: Penulis

 

UNTIDAR – Era reformasi digital saat ini seakan sudah tidak memiliki privasi. Adanya surveilans (kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data) dari berbagai pihak, tidak menutup kemungkinan terjadinya intimidasi secara online. Bahkan, taraf kekerasan seksual turut menjamah digitalisasi atau dikenal dengan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).


Dalam buku Luka-Luka Linimasa, Kalis menceritakan berbagai kasus yang seharusnya menjadi konsensus dan kesadaran kolektif bagi semua orang, terutama kasus kekerasan seksual serta KBGO. Salah satu contohnya kasus pelajar yang di dropout karena penyebaran video asusila, hingga kasus penjualan manusia. Kasus-kasus ini diperkuat dengan berbagai respon positif dari audiens.


“Saya pribadi memiliki teman yang posisinya sebagai korban, kemudian di-dropout karena video asusilanya di-share kekasihnya di instagram,” respon Adinda, salah satu audiens asal Jepara.


Masifnya kasus ini, tidak diimbangi dengan dukungan hukum positif dari negara kita. Secara historis, menurut Kalis penanganan hukum kita mengenai kasus ini cukup buruk, contohnya pada penyebaran konten asusila dan pornografi (kasus Vina Garut) yang menyebabkan pelaku serta korban turut dihukum kurungan penjara. Bahkan saat ini, kasus KBGO hanya bisa dilaporkan pada level Kepolisian Daerah (Polda). Padahal dari semua Polda di Indonesia, hanya lima Polda yang memiliki satu teknologi dan dua tenaga terlatih. Maka dari itu, upaya mitigasi atau pencegahan terhadap kasus KBGO perlu dilakukan pada semua lapisan masyarakat. 


Buku Luka-Luka Linimasa juga membahas mengenai perbedaan relasi kuasa secara offline maupun online yang berujung KBGO. Secara offline, relasi (asmara) dapat berupa perbedaan fisik, jabatan, atau umur. Sementara itu, pada relasi kuasa online, pelaku tidak diketahui identitasnya. Hal ini yang membuat proses pengambilan keputusan atau penanganan menjadi pasif. Berkaitan dengan platform, seperti Twitter atau yang sekarang beralih nama menjadi X, Instagram, Telegram, dan lain sebagainya harus bertanggung jawab dalam kasus ini. Platform juga menjadi bagian yang paling sulit untuk diadvokasi karena berposisi sebagai enabler (penggerak) konten-konten yang sulit untuk difiltrasi. Selanjutnya, dalam pengembangan filtrasi konten juga bersinggungan langsung antara kebebasan atau pembatasan penggunaan platform.


“Ruang digital saat ini tidak aman dan tidak menutup kemungkinan kita menjadi salah satu korbannya. Buku Luka-Luka Linimasa hadir sebagai upaya mitigasi bagi korban atau pengambilan keputusan terhadap kasus KBGO,” terang Kalis Mardiasih saat melakukan bedah buku karyanya. Bedah buku ini menjadi penutup gelar wicara Pekan Buku Magelang Edisi 01 di Melek Huruf, Kecamatan Borobudur, Magelang (16/6).


Pekan Buku Magelang 2024 Edisi 01 di Melek Huruf diisi dengan berbagai kegiatan, seperti bursa buku, gelar wicara, lokakarya, dan tur sepeda. Sejumlah penulis terkenal turut mengisi acara ini, diantaranya Kurnia Yaumil Fajar, Adimas Immanuel, Paksi Raras Alit, Akata, Mahfud Ikhwan, Kisti, hingga Kalis Mardiasih. Event ini mendapat sambutan hangat dari pegiat literasi tidak hanya di Magelang, namun juga dari luar Magelang.

 

Penulis: Mufadlotul Izzah

Editor: Salma Nurhaliza

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama