JAKARTA - Aksi Kamisan kembali digelar di depan Istana Negara Republik Indonesia, Jakarta pada Kamis (19/1).
Tahun ini, Aksi Kamisan genap 16 tahun. Di mana sejak Kamis, (18/01/2007) lalu, korban pelanggaran HAM berat dan pendukungnya menyelenggarakan unjuk rasa damai di depan Istana Negara, Jakarta. Mereka mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas berbagai pelanggaran HAM berat masa lalu.
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti mengatakan bahwa Aksi Kamisan ini bukan sekedar merefleksikan ingatan, tetapi juga meluruskan perspektif keadilan pada korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Tujuannya mendapatkan keadilan bagi korban. Keadilan harus dari perspektif korban, yang kami lihat keadilan diterjemahkannya sekedar kemauan penguasa, seperti halnya Tim PP HAM (Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu) dianggapnya sudah memberikan keadilan seperti memberikan santunan, padahal yang diinginkan korban adalah pengungkapan kebenaran dan dibawa ke pengadilan,” ucap Bivitri.
Ia juga menyampaikan bahwa Aksi Kamisan tidak lebih dari sekedar alat dan menjadi janji-janji politik.
“16 tahun Aksi Kamisan, 760 kali kita ada disini. Berarti dua presiden, empat masa pemerintahan tetapi korban sudah dapat apa? 760 kali kita berada di sini berteriak lawan cuma digunakan sebagai janji-janji politik. Bahkan sebagian di antara kita yang dulu mungkin di sini, dulu orasi, kerjanya pindah ke sana (sambil menunjuk Istana Presiden)," ungkap Bivitri dalam orasinya.
Salah satu kerabat korban Tragedi Semanggi I, Sumarsih, hadir dalam aksi tersebut. Ia merupakan ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I. Selama 16 tahun, Sumarsih masih menyuarakan tentang keadilan dan penyelesaian kasus yang merenggut nyawa anaknya.
Pada kesempatan ini, Sumarsih mengungkapkan rasa kecewaannya terhadap realisasi komitmen penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat tersebut yang tak sesuai harapannya.
“Bahkan Pak Jokowi di dalam nawacita kampanye menjadi presiden menyatakan bahwa berkomitmen akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, disebutkan kasusnya, dan menghapuskan impunitas, tetapi ternyata Presiden Jokowi akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan masa kini secara non-yudisial. Itulah yang kami tolak, jadi janji-janji Presiden Jokowi hanya senandung kebohongan yang ditampilkan dimasyarakat,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi telah membentuk Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang dibentuk melalui Keppres Nomor 17 Tahun 2022. Tim itu dipimpin oleh Mahfud MD dan mengkaji kembali temuan-temuan mengenai pelanggaran HAM berat masa lalu. Jokowi pun menyatakan pengakuan atas 12 kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di tanah air. (MRN)