Malam
hari yang mendung dengan sedikit kilatan petir mulai menyelimuti langit, sampai
– sampai sinar bintang maupun bulan tak mencapai bumi. Di jalan sana terlihat
antek – antek berpakaian bak tentara datang dengan jumlah yang bisa dikatakan
sangat banyak. Mereka datang dibawa oleh truk – truk yang berwarna hampir
senada dengan warna pakaian yang mereka pakai, yakni biru keunguan. Terlihat
juga di bagian truk terakhir terdapat berbagai botol – botol yang ukurannya
sangat besar.
Di sisi lain, sebuah desa yang cukup
terpencil terasa damai karena penduduknya sedang menikmati waktu istirahat
mereka. Terlihat tidak ada yang aneh dari apa yang ada di desa tersebut. Hanya
desa dengan penduduk bermata pencaharian sebagai petani dan pencari ikan serta
dengan keyakinan yang bisa dikatakan minoritas di lingkup negeri mereka. Malam
yang tenang di desa tersebut tiba – tiba terusik dengan bunyi – bunyian dari
kentongan dan juga teriakan yang memberi tahu bahwa akan ada yang datang.
Malam yang begitu tenang mulai gaduh
dengan para penghuni rumah yang bangun dari tidurnya dan mulai mengemas barang
yang menurut mereka berharga. Salah satunya adalah Ngupa, seorang ibu yang
sedang mengemas barang berharga miliknya. Sembari menunggu suaminya yang tidak
kunjung pulang berjaga di gerbang desa, dia membangunkan Enges, putra
pertamanya yang berumur tujuh tahun. Selesai berkemas, dia langsung menggendong
putra keduanya yang masih bayi lalu keluar rumah dengan barang bawaan yang sudah
berjejer di depannya. Dengan sabar dia menunggu sang suami datang agar bisa
pergi bersama. Terlihat banyak warga desa yang mulai berjalan meninggalkan
desa, tetapi suami Ngupa belum juga kunjung kembali, rasa khawatir mulai
mendera.
Tidak selang lama dari Ngupa selesai
berkemas, terlihat cahaya benderang di depan desa. Rasa khawatir semakin
mendera, karena dia tahu bahwa cahaya itu adalah kobaran api yang menghanguskan
rumah – rumah. Cahaya itu semakin membesar dan mendekati Ngupa juga kedua
anaknya, terlihat juga warga yang mulai tergopoh – gopoh pergi meninggalkan
desa. Apalagi saat orang dengan seragam mirip tentara itu datang dengan terus
membombardir tembakan tanpa tentu arah. Hasil dari tembakan tersebut adalah
darah yang tercecer dari mayat penduduk desa. Secara naluriah, warga terus
berlari guna menghindar dan berlindung dari kompolatan mirip tentara tersebut.
Begitu pula dengan Ngupa yang berlari keluar desa dengan pundak yang menggendong
ransel, tangan kanannya memegangi Enges dan tangan kirinya yang mencoba menjaga
putra keduanya yang terus menangis sedari tadi.
Ngupa
terus berlari tak menentu arah, titik evakuasi tujuannya di sungai samping desa
telah dijaga oleh para komplotan tersebut. Dengan masih menggandeng erat tangan
Enges, Ngupa terus berlari menuju titik evakuasi lainnya yang masih terhubung
dengan sungai di samping desanya. Hati sebenarnya tidak tega saat melihat raut
ketakutan dan juga kelelahan dari Enges, tetapi apalah daya, dia harus pergi
menghindari para komplotan yang sepertinya mencoba membantai orang – orang di
desa. Dalam pelarian yang Ngupa lakukan tidaklah mudah, selain harus terus
berlari, dia juga harus menjaga anaknya dari tembakan – tembakan yang terus
melesat ke arahnya. Dapat didengar juga beberapa kali jeritan kesakitan di
belakangnya akibat terkena tembakan tersebut.
“DOR!” suara tembakan yang terasa
dekat sekaligus memekakkan telinga terdengar. Ngupa terus berlari dengan tangan
kanannya yang masih memegangi Enges, tetapi dia mulai memelankan larinya kala
merasa tangan kanannya yang memberat seperti sedang menyeret sesuatu. Ngupa
mencoba bertanya kepada Enges dengan nafas yang masih tersenggal – senggal, tetapi
hanya suara tembakan dan juga deru nafas yang terdengar. Akhirnya dia berhenti
berlari dan menengok apa yang terjadi dan mengapa tangan kanannya terasa berat,
awal dia berpikir mungkin Enges lelah berlari. Namun, tangisnya pecah ketika
melihat Enges yang telah diam dengan darah yang hampir memenuhi sekujur
tubuhnya, hatinya hancur merasa gagal dalam menjaga sang buah hati. Masih
dengan tangis, Ngupa akhirnya memutuskan untuk menggendong Enges bersisihan
dengan adiknya yang masih menangis.
Pelarian Ngupa terus berlanjut
walaupun dengan berat yang harus dia pikul. Rapalan doa bertubi – tubi telah
dia ucapkan sepanjang jalan dia berlari, berharap Enges tetap hidup,
mendapatkan tempat yang aman dan juga berkumpul dengan suaminya kembali. Hal
itu merupakan hal yang Ngupa inginkan. Entah apa yang menjadi latar belakang
akan kejadian ini, padahal dia dan juga penduduk desanya tidak pernah satu kali
memberontak kepada yang berkuasa. Alasan apapun yang Ngupa pikirkan tidaklah
bisa menjadi jawaban mengapa komplotan berseragam mirip tentara tersebut
menyerang mereka, bahkan juga menyerang saudara jauh mereka. Tanpa terasa akhirnya
pelarian Ngupa sampai pada tempat yang dia tuju, di sana terlihat beberapa
perahu dan juga orang yang telah berkumpul. Lega rasanya saat Ngupa melihat hal
tersebut, buru – buru dia mendekat dan meminta pertolongan untuk Enges. Dengan
ini, harapan menuju tempat yang lebih baik semoga saja terwujud. Namun, di sisi
lain para komplotan tersebut telah mendekat ke tempat Ngupa berada.
Karya: Abdurrahman dan Aprilia Utami