Kasus
tentang kekerasan seksual di perguruan tinggi makin masif diberitakan. Pada
awal tahun 2020, dilansir dari KOMPAS.com seorang mahasiswi Universitas
Indonesia menalami pelecehan seksual di kampusnya sendiri. Penyintas mengaku bahunya
disentuh dari belakang dan ia mendapatkan kata-kata tak senonoh dari pelaku.
Insiden tersebut akhirnya kemudian naik ke permukaan dan sempat viral di
Twitter. Meskipun pelakunya bukan sivitas academica Universitas Indonesia, yang
membuat heran adalah perlakuan petugas PLK UI melepaskan para pelaku tanpa menyita satu pun
bukti identitas pelaku, baik itu berupa foto maupun data KTP. Hal ini
membuktikan bahwa masih kurangnya kesadaran untuk berperan dalam tindak
penanganan pelecehan seksual, mungkinkah si petugas menganggap bahwa tindakan
‘menyentuh bahu’ dan ‘berbicara mengenai bra dan sebagainya’ bukan suatu bentuk
pelecehan seksual? Hal ini menandakan, kampus yang seharusnya menjadi ruang
aman bagi perempuan justru ternyata tidak demikian. Jadi apa pelecehan seksual
itu? Dan bagaimana sikap kita terhadap pelecehan seksual di kampus, sementara
bisa kita lihat dari kasus mahasiswi UI ini bahwa orang sekitar pun tak
menolong bahkan yang berlabel ‘petugas’ sekalipun? Apa kita akan diam saja saat
mendapat perlakuan tak mengenakan semacam itu? Apa kita akah diam saja jika
melihat orang disekitar kita mengalami hal demikian? Lalu yang paling penting, kalau
kita sudah menyadari bahwa pelecehan seksual harus dicegah, tapi bagaimana cara
kita mencegahnya?
Padahal
maraknya berita yang mulai terungkap dan terangkat mengenai pelecehan seksual
yang dilakukan oleh beberapa oknum di beberapa perguruan tinggi di Indonesia
menyebabkan rasa ketakutan dan kecemasan masyarakat luas. Akan tetapi, untuk
mencegah ataupun melawannya diperlukan kerja sama oleh banyak pihak. Banyak
yang menyalahgunakan jabatan atau kekuasaan untuk mendapatkan hal yang menjerumus
pada seksualitas tanpa persetujuan dalam artinya pemaksaan kehendak. Perlu
diwaspadai, pelecehan non fisik malah sering dilakukan oleh lelaki kepada
wanita yang menurutnya menarik. Namun, tidak menutup kemungkinan pelecehan
seksual dapat dilakukan oleh wanita pada laki-laki maupun sesama jenis.
Lalu,
sebenarnya pelecehan seksual itu bisa berbentuk apa saja? Dalam buku “Aku,
Kamu, Lawan Kekerasan Seksual” karya Lathiefah Widuri Retyaningtyas dan
diproduksi oleh Jaringan Muda dan FRIDA (The
Young Feminist Found) mengungkapkan ada beberapa bentuk kekerasan seksual. Apakah
kalian pernah ‘disiuli’ saaat sedang berjalan? Menurut kalian apakah tindakan
orang yang bersiul pada kita ketika sedang berjalan termasuk pada pelecehan
seksual? Jika kalian menganggapnya wajar, berarti masyarakat telah
menormalisasi pelecehan seksual. Big no!
Jangan anggap hal itu wajar.
Ternyata
‘disiuli’ menurut Jaringan Muda Melawan Kekerasan Seksual beserta FRIDA (The Young Feminist Found) bila oleh
orang yang dikenal ataupun tidak dikenal sehingga membuat kita merasa terganggu
dan tidak nyaman itu termasuk pelecehan seksual. Jika kamu pernah mengalaminya,
maka mulai sekarang sebaiknya jangan diam saja dan menganggap kejadian tersebut
sebagai hal yang wajar. Coba pikirkan, meski terlihat sepele, bersiul merupakan
salah satu bentuk pelecehan seksual yang paling sering terjadi di sekitar kita.
Berdasarkan
pembahasan dalam buku “Aku, Kamu, Lawan Kekerasan Seksual” dan juga pendapat
beberapa ahli seperti Komisioner Subkom Pemantauan Komnas Perempuan, Siti
Aminah Tardi, serta psikolog Meity Arianty STP., M.Psi., mengutip dari Winasrunu
(2008), disimpulkan bahwa pelecehan seksual adalah semua
tindakan/perilaku/gerak-gerik yang mempunyai muatan seksual yang tidak
dikehendaki sehingga menyebabkan rasa marah, perasaan terhina, malu, depresi,
tidak nyaman, dan tidak aman bagi orang lain yang dapat berupa verbal
(kata-kata), non-verbal, tulisan, fisik, psikis, dan visual. Perbuatan
pelecehan seksual ini dapat terjadi karena cara pandang yang memosisikan tubuh
orang lain hanya sebagai objek seksual belaka. Pelecehan seksual dapat terjadi
tanpa memandang jenis kelamin, namun dalam relasi kuasa yang aneh saat ini, yang
tidak setara dalam struktur bangunan masyarakat saat ini (patriarki) –memang tidak adil– membuat perempuan menjadi lebih
rentan terhadap pelecehan seksual.
Semua
manusia memiliki hak untuk merasa aman dan nyaman atas bentuk tubuh dan
ekspresi gender mereka. Oleh karenanya komentar atas bentuk payudara, bentuk badan,
pandangan nakal terhadap bagian tubuh tertentu yang membuat perasaan risih dan
tidak nyaman, dan ekspresi gender seperti termasuk pelecehan seksual. Godaan
dan candaan seksual seperti manis, cantik, siulan-siulan (biasa disebut dengan
istilah ‘catcalling’) juga termasuk
pelecehan seksual. Seringkali cara berpakaian mini atau ketat dianggap sebagai
undangan untuk melecehkan. Apalagi diperparah dengan struktur masyarakat patriarki, yang selanjutnya membuat
adanya pengelompokkan perempuan baik-baik dan tidak– memangnya perempuan baik
dan tidak baik itu yang seperti apa?
Pelaku
pelecehan seksual ternyata bisa siapa saja. Bisa dari orang yang sama sekali tak
kita kenali sekalipun atau bahkan orang yang justru dekat dengan kita, seperti
teman sebaya, teman satu komunitas, pacar, pengajar, dan lain sebagainya. Selain
itu, korban kekerasan seksual juga tidak selalu golongan perempuan (meskipun
lebih rentan), korbannya juga bisa laki-laki. Oleh karenanya laki-laki harus
turut mengambil peran dari perlawanan untuk berjuang menghapuskan pelecehan
seksual. Arena kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual dapat terjadi pada
siapa saja dan di mana saja bahkan di lingkungan perguruan tinggi, oleh karena
itu perlawanan terhadapnya pun harus hadir dari siapa saja dan di mana saja. Semakin
banyaknya masyarakat yang menyuarakan dukungannya, maka semakin besar pula
perlawanan terhadap kekerasan seksual tersebut.
Berikut
ini merupakan hal-hal yang dapat kita lakukan untuk mencegah menjadi korban
dari pelecehan tersebut diantaranya:
1.
Selalu
waspada
Memiliki
rasa waspada terhadap suatu hal adalah komponen pencegahan yang terpenting baik
dengan keluarga, teman, sahabat, pacar, maupun orang lain. Rasa waspada disini
berarti sikap untuk saling hati-hati dan tidak mudah percaya terhadap sesuatu.
2.
Memilih
lingkungan pergaulan yang sehat
Tidak
dipungkiri, ligkungan yang sehat akan melahirkan pribadi yang sehat pula. Maka
lingkungan pergaulan yang sehat amat penting karena merupakan pengaruh yang
besar dalam kehidupan.
3.
Segera
menjauh apabila merasa ada sesuatu yang mencurigakan (berbau seks)
Banyak
tanda-tanda aneh berbau seks yang dapat kita ketahui, seperti tatapan kotor,
obrolan seks yang dianggap sebagai bahan bercandaan dan masih banyak lagi.
Apabila kita mendapatkan situasi sedemikian, maka akan lebih baik jika kita
menghindar dari lingkungan tersebut.
4.
Lapor
ke pihak berwajib
Jika
kita mengetahui ada suatu oknum melakukan suatu pelecehan seksual maka kita
harus melaporkan kepada pihak berwajib setelah mendapatkan suatu bukti yang
kuat.
5.
Melakukan
perlawanan
Jangan
diam: Tunjukkan ketidaksukaan kita terhadap perbuatan yang melecehkan, bisa
dengan melotot, membentak, atau mendatangi pelaku dan katakan ketidaksukaan
kita. Hal itu juga bisa menjadi sarana penyadaran bagi pelaku, bahwa
tindakannya tersebut melecehkan. Apabila kita berada dalam situasi darurat maka
melakukan perlawanan adalah hal yang perlu dilakukan. Melakukan perlawanan
semaksimal mungkin agar dapat terlepas dari perangkap tersebut dapat juga
dengan berteriak. Selain itu, pelatihan bela diri sebenarnya juga penting
dipelajari karena bermanfaat sebagai tameng diri kita sendiri.
6.
Bekali
diri dengan pengetahuan seputar kekerasan seksual
Belajar
mengenai apa itu pelecehan seksual, bagaimana ciri-cirinya, bagaimana cara
mencegahnya merupakan ilmu yang harus kita punya. Agar kita mengerti dan tahu
apabila kita sedang berada dalam zona tersebut. Memang sudah hal umum,
pelecehan sesksual dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang gender.
Untuk mencegah hal itu, maka edukasi mengenai pelecehan seksual harus dipahami
dengan benar.
Penulis:
Restiana Setia Ningrum
(MG1400)
Riyanti Tersisa (MG1401)