Hidup di
perumahan itu memang senyap, kecuali kalau penjual getuk berkeliling menyusuri
blok-blok sambil meneriaki dagangannya. Panas-panas begini mana cocok makan
getuk. Mungkin es kopi plus susu dan karamel?
"Nggak,
ah!" Sevian menggeleng setelah bermonolog.
Ia kembali
menghadap layar komputernya sambil duduk bersandar dengan jemari tangan saling
mengait.
Seiring
kursi berputar ke kanan dan kiri, Sevian akhirnya berhenti tepat di depan standing
mirror yang dikelilingi tanaman pot. Terlihat melalui pantulan cermin,
berewok dan kumisnya menebal. Rambutnya tak lagi cepak seperti ia masih
bersekolah dulu. Keriting dan menjuntai menutupi telinganya. Terkadang untuk
menutupi helai rambutnya Sevian harus mengucir sebagian atau mengenakan
topi baseball. Faktor genetik membawanya ke raut yang ditumbuhi
banyak rambut. Papa yang menuruninya.
Sudah
hampir tiga bulan Sevian bagai tawanan di rumah sendiri. Ia sempat pergi ke
tukang cukur untuk memotong rambut beserta berewok sekitar tiga minggu lalu,
tepatnya satu hari sebelum ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri
dilaksanakan. Memikirkan hal itu, Sevian teringat akan suatu hal.
***
Kaki kiri
dan kanan saling berebut langkah. Mengejar waktu yang nyaris tak tergapai.
Sialnya, laki-laki berkemeja hitam dan celana chinno cokelat
itu harus berhenti dan menanti sampai antrean habis. Sebetulnya, tak banyak
orang yang melakukan perjalanan menggunakan kereta, tetapi pegawai yang berjaga
di pintu masuk harus mengecek suhu tubuh satu per satu orang sebab pandemi belum
berakhir sampai saat ini.
Sepuluh
menit lagi keretanya akan datang.
Sevian
tidak terbiasa datang terlambat. Apalagi hari ini adalah hari penentuannya
untuk lolos ke perguruan tinggi negeri yang ia inginkan. Lebih tepatnya, papa
yang menginginkan.
Sevian
seketika gugup menanti pesan dari temannya, Ben. Dia tidak mau setelah tiba di
tempat, lantas kebingungan. Karena, Sevian belum pernah pergi ke Yogyakarta
seorang diri. Melalui chat group Sevian mengenal Ben Revaldi
asal kota istimewa itu dan sekarang Ben belum juga memberi kabar.
Sembari
menunggu barisan, Sevian memandang sekeliling. Menghirup dalam-dalam aroma soto
dan mi ayam dari kantin stasiun. Enak sekali. Membayangkan kuah yang kental
agak berminyak, taburan daun bawang dan bawang goreng, daging suwir yang tak
mampu didefinisikan. Sayangnya, dia telah mengisi perut lebih dulu. Sepertinya
sudah cukup untuk bekal nanti saat mengerjakan soal-soal di dalam ruang ber-AC.
Khawatirnya, Sevian mengantuk dan kehilangan kesempatan mengisi jawaban. Itu
sangat fatal!
Antrean
kian menipis. Hanya perlu menunggu tiga orang lagi. Entah bagaimana, tatapannya
beralih pada map yang dibawa seorang perempuan di depannya. Tampaknya orang itu
sedang mengecek berkas-berkas penting dan Sevian melihatnya! Kartu Tanda
Peserta dengan lokasi yang sama.
Sevian
sebenarnya tidak mau berurusan dengan orang lain. Akan tetapi, mungkin mereka
bisa pergi ke ruangan bersama. Mengingat Ben tidak di ruang yang sama dengan
Sevian, hanya satu kompleks.
Setelah
melihat sekilas, perempuan yang berdiri tepat di depannya menutup map dan
menyimpan benda itu dalam dekapannya. Sekarang gilirannya masuk ke peron,
sementara Sevian menunggu hasil suhu tubuh dari thermo gun yang
diarahkan ke dahinya.
"36,8,"
kata pegawai yang memeriksanya.
"Terima
kasih."
Sevian
berjalan cepat ke sembarang arah. Mencari gadis tadi. Dia agak lupa apa warna
pakaian yang dikenakan. Namun, Sevian tahu apa warna mapnya. Yang pasti mereka
akan berada di satu kereta.
Tepat pukul
05.00
Ekor
matanya menangkap sosok perempuan tadi di pintu yang berbeda. Dia masuk lebih
dulu ketimbang Sevian.
Ternyata
setelah memasuki gerbong, kursi penumpang tidak banyak ditempati. Jadi, Sevian
bisa memilih bangku mana saja. Ia memutuskan untuk berjalan ke gerbong lain
lebih dulu untuk mencari anak itu. Sevian yakin tidak jauh-jauh dari pintu ia
masuk.
Dari dua
meter, Sevian dapat melihat perempuan berambut pendek hitam pekat. Seingatnya,
yang ia temui tadi perempuan mengenakan hoodie dengan cape di
kepalanya.
"Permisi,"
Gadis itu
menoleh sambil menelengkan kepalanya. Sementara itu, tangan kirinya sibuk
mengaitkan earphone nirkabel.
***
Sepanjang
kereta melesat, membelah tanah persawahan, dan menembus angin pagi, tak ada
perbincangan lagi setelah mereka berdua saling memperkenalkan diri.
Sevian
menggigit bibir merah mudanya. Menerawang koridor kereta dimana tak ada orang
berlalu-lalang. Terkecuali seorang prami yang berjalan dari arah belakang.
"Mbak...
Mbak..."
"Iya?"
"Saya
bisa pesan kopi karamel?"
"Oh
iya, baik. Berapa?"
Sevian diam
sejenak, menilik Pinnita dari balik bahunya. "Dua."
Prami
tersebut mengangguk dan berlalu.
Sevian
menurunkan maskernya sebatas hidung. Ia merasa pengap dan bisa pingsan kalau
sampai kehabisan oksigen.
"Jadi,
kita sebenernya satu sekolah, tapi nggak saling tau, ya?" Ujarnya membuka
obrolan ringan.
"Aku
tau Mas, kok."
"Siapa?"
"Ya,
tadi. Kita kan udah kenalan."
"Oh
iya, hehe." Sevian merebahkan punggungnya lagi ke sandaran yang sudah ia
turunkan sedikit. "Maksudku kamu tau kalau aku kakak kelasmu?"
Pinnita
mengangguk dengan antusias.
"Anak
pramuka, kan? Aku sering liat Mas Sevian setiap Jumat jaga gerbang biar
anak-anak kelas 10 nggak bisa kabur."
"Emang
kamu salah satu yang kabur?"
"Bisa
jadi," jawab Pinnita sambil tertawa. "Mas Sevian aja pernah catet
namaku sampai aku kena hukum Pak Retno."
Lelaki itu
nampak berpikir. Mengingat-ingat siapa saja yang pernah ia catat sebagai siswa
tidak teladan tiga tahun lalu.
"Ya
udah kali... nggak usah dipikir banget. Lagian yang kabur juga banyak. Mana
mungkin Mas Sevian tau aku waktu itu."
"Permisi...
kopi karamel 2?" Tanya seorang prami kepada Sevian yang kemudian
mengiyakan.
"Terima
kasih." Sevian selalu melontarkan senyum, hanya saja garis bibirnya
tertutup masker. Tak ada yang percuma, lagi pula prami itu pasti memahami
penumpangnya.
Pinnita
masih memerhatikan Sevian yang kembali mengatur tempat duduknya.
"Mas
Sevian mau minum dua kopi?"
"Nggak,
lah. Kayak apa jantungku ntar."
"Hahahaha...
ada, lho, orang minum kopi sampai dua gelas. Tiga malah!"
Sevian
sibuk menyeruput kopi karamelnya, setelah itu menyodorkan gelas satunya kepada
Pinnita.
"Aku?"
tanya gadis itu skeptis.
Bibir
Sevian masih menempel di tepian gelas kopi, sehingga ia hanya mengangguk pelan.
"Makasih."
Jendela
masih menyajikan ladang yang terhampar jauh. Dengung AC tidak begitu
dihiraukan, karena Pinnita selalu menggantungkan earphone di
telinganya. Kalau nanti Sevian mengajaknya mengobrol lagi, ia bisa mengecilkan
atau menjeda musik yang sedang diputarnya. Sedangkan di sampingnya, anak
laki-laki itu bingung hendak melihat apa. Koridor kereta bukan pemandangan yang
menyegarkan, jendela terlalu jauh untuk matanya menjangkau, atau Pinnita yang
tampaknya menenangkan. Gadis yang ramah.
Awalnya
perempuan ini terlihat biasa saja, bertindak seperti orang tidak saling kenal.
Namun, ketika mereka tahu berasal dari sekolah yang sama, cerita menjadi
terlalu seru untuk ditinggalkan. Masa kini tidak akan pernah terganti dengan
masa mendatang. Setiap waktu akan menciptakan klise yang berbeda. Menangkap
ingatan yang tak akan pernah pudar salama kita senantiasa menyimpannya.
Terlebih jika pengalaman itu mengandung banyak muatan emosional, entah senang
maupun sedih. Amigdala tidak akan menolaknya.
Pukul 07.20
Mereka
turun dengan tawa mengelilinginya. Melangkah tanpa beban, tanpa cemas, dan keringat
dingin.
"Eh,
mapmu nggak ketinggalan, kan?"
Pinnita
menunjukkan map biru yang dihimpit lengan kirinya.
"Gila
banget, sih, UTBK tahun ini," ungkap Sevian.
"Bener-bener!
Aku yang udah belajar sejarah, geografi, ekonomi... argh... nyesek, deh,
pokoknya. Tau-tau udah tinggal dua bulan lagi, eh cuma TPS doang,"
jelasnya menggebu-gebu.
"Cuma
TPS, tapi taraf soalnya?"
"Iya,
sih." Pinnita melompat ke trotoar untuk nantinya menunggu kendaraan umum.
"Emang tahun lalu kayak apa?"
"Lebih
panjang, sih, teksnya. Lagian ada untungnya juga cuma TPS. Soalnya lebih
sedikit, waktunya lebih singkat, jadi nggak perlu duduk lama sampai pantat
panas."
"Kan
ber-AC ruangannya."
"Sama
aja. Yang kena AC cuma muka doang, bikin ngantuk. Makanya aku beli kopi tadi.
Apalagi tahun lalu, aku kedapetan ruang yang tempat duduknya berhadapan. Malu
juga kalau sampai ketahuan orang lain. Muka orang ngantuk jelek tau!"
"Hahahahaha...
emang pernah liat muka sendiri pas tidur?"
"Nggak,
sih. Tapi, lucu aja."
***
Sorot
matahari kian tajam, para peserta satu per satu keluar dari gedung dan melepas
sarung tangan karet yang mereka gunakan selama berada di ruang ujian. Setelah
itu, berbaris dengan jarak yang ditentukan untuk bergiliran mencuci tangan.
Ketika
menunggu Pinnita mencuci tangan, Sevian mendekati seorang laki-laki berkulit
putih, berambut hitam lurus yang mencuat seperti duri. Sembari ia silih
berganti melihat foto yang dikirimkan Ben semalam. Dalam hatinya, Sevian
meyakini dialah Ben Revaldi. Anak itu sedang bersama dua orang temannya.
"Ben!"
Yang
dipanggil sontak menoleh, lalu menyipitkan mata.
"Sevian?"
"Iya!"
"Wehe...
Bro, akhirnya ketemu langsung kita! Mau langsung balik Sragen?"
"Makan
siang dulu."
"Bareng
aja,"
"Aku
ada teman."
"Oh,
Oke. Yang penting udah ketemu. Sorry, ya, tadi malah dijemput sama
si Tukijo." Ben menyenggol lengan salah seorang temannya yang gempal
mengenakan kemeja navy.
"Hilman,
Bapakkk... bukan Tukijo," katanya mengoreksi.
"Hahahaha...
iya iya."
"Duluan,
ya," ucap Sevian kepada ketiga anak laki-laki tadi.
Pinnita sudah
menunggu di pintu keluar dan memesan taksi online lebih dulu, sehingga Sevian
tidak dapat menolak kalau gadis itu membayarkan ongkos taksi untuknya.
"Dengan
syarat..."
"Apa?"
"Temenin
ke toko buku dulu hehe..."
Sevian
mengangguk. Selama ia tidak sendirian, dirinya akan baik-baik saja.
***
Rasa nyaman
bisa diperoleh ketika sendiri, tetapi waktu terus menggulung dan kau akan
bosan. Nyaman boleh juga didapat kalau bersama orang lain, tetapi tidak semua
orang bisa memberi rasa nyaman kepada kita.
Tanpa sadar
kenyamanan itu larut dalam hal yang disebut dengan terbiasa. Suatu kebiasaan
akan membawamu ke sebuah ruang dimana kau terperangkap di dalamnya dan
terlanjur memeluk hati si pemberi rasa nyaman. Karena, cinta itu tak selalu
berwujud, tetapi seperti angin.
Sragen, 25 Juli
2020
Sevian Abdi Wardana
"Done!"
Sevian
tersenyum puas melihat tulisannya sudah berakhir dengan titik. Setelah ini dia
akan mengirimkan naskahnya melalui e-mail untuk diikutsertakan
dalam lomba cerpen.
"Yep!"
serunya setelah memencet tombol send.
Belum lagi
selesai, laki-laki itu harus mengonfirmasi pengumpulan cerpen dengan men-screenshot bukti
sent box pada laman e-mail. Saat mencari nama kontak "Pika
Lomba Cerpen", baru mengetik sampai huruf "i", Sevian pun
terhenti. Di sana muncul kontak "Pika Lomba Cerpen" dan
"Pinnita".
Diam-diam
senyuman itu tak hanya bersarang dalam benaknya, tetapi naik ke bibirnya. Lama
ia tak menghubungi perempuan itu, karena Sevian terlalu malas mencari topik
tidak berguna hanya untuk meredakan rasa rindunya.
Jadi...
"Semoga
kita sama-sama lulus di kampus yang sama."
Karya: Fida Fachrian
Nurochmah (MG1320), Zahratul Istifaizzah (MG1358)