Plengkung di Jalan Pierre Tendean (Sumber: jejak bocahilang)
Pada masa pemerintahan Belanda, Kota Magelang merupakan sebuah
tempat istimewa bagi para penjajah kala itu. Bahkan, pemerintah Belanda telah
memproyeksikan Magelang menjadi kawasan pemukiman yang nyaman untuk ditinggali.
Oleh karena itu, guna
mendukung hal tersebut, dibangunlah
sarana penunjang berupa saluran air kota (Boog Kotta Leidig).
Saluran yang memiliki panjang kurang lebih 6,5 kilometer ini
berhulu dari Kali Manggis, Kampung Pucangsari, Kelurahan Kedungsari, Kecamatan
Magelang Utara, dan berhilir di Kampung Jagoan, Kelurahan Jurangombo, Kecamatan
Magelang Selatan.
Fungsi utama dari saluran ini yaitu mencukupi kebutuhan dan membersihkan limbah rumah tangga yang diperoleh dari pemukiman warga. Saluran pipa
dibuat melayang dan diletakan di atas gundukan tanah yang memanjang hingga
menyerupai sebuah benteng yang berada di tengah kota. Namun, tidak ada sumber
artikel maupun media yang menyebutkan asal tanah, pekerja, serta anggaran yang
dibutuhkan untuk membuat gundukan tersebut.
Pemerintah Belanda membangun sebuah bangunan yang mirip seperti
benteng (Plengkung) untuk saluran yang memotong akses
jalan. Plengkung ini terdapat dari tiga titik di Magelang, seperti di Jalan
Pierre Tendean yang dibangun sekitar tahun 1883, Jalan Daha/Tengkoan tahun
1893, serta di Jalan Ade Irma Suryani pada tahun 1920. Masing- masing plengkung
memiliki tinggi dan lebar sekitar tujuh meter.
Plengkung dikategorikan ke dalam cagar budaya yang keberadaannya
harus dilestarikan. Hal ini disebabkan semakin menjamurnya bangunan di sekitar
Plengkung tersebut, hingga Plengkung harus mengalami renovasi yang
menghilangkan komposisi bangunan lama. (NH/SK)
Karya: Shafira Kartika Putri (MG1349)
Nurul Huda Partogian Sihite (MG1342)