Thanks to Mathematic
Oleh: AF
Namaku Rio
Rakabuming, biasanya
sih dipanggil Rio saja. Aku masih duduk kelas dua di bangku SMA, di salah
satu sekolah negeri di Banten. Aku bisa masuk ke sini karena dulu SMP nilaiku
bagus. Ya,
karena aku nyontek pas ujian. Jangan ditiru. Oke. Tinggi badanku sekitar 167
cm, nggak tinggi-tinggi amat sih, dan
berat badanku 60 kg. Gendut nggak ya,
aku? Biarin ah, yang penting aku keren. Aku tinggal serumah dengan kakakku yang
bernama Amel, orangnya cantik, dan berhijab. Kalau ketemu sama pria seumurannya
gitu, dia selalu menundukkan kepalanya. Katanya sih malu, atau nggak ya menghindar gitu. Padahal nih,
dia udah jadi mahasiswi. Tapi belum punya pengalaman tentang pacaran. Katanya,
dia ingin jadi sarjana dulu baru mikirin jodoh. Nggak seperti aku yang punya
banyak pengalaman pacaran. Mulai dari diporotin uangnya, diselingkuhin,
dikhianatin, ah banyak macem deh. Tapi aku nggak pernah yang namanya selingkuh.
Inget!!! Hehehe…
Ada sedikit
cerita nih dari mantanku, namanya Anin, dia itu orangnya dikit-dikit emosian Bro.
Males keleus dikit-dikit kena semburan
naga api. Panas,
Broo. Apa lagi sama si Angel. Dia itu anak blasteran Inggris-Indonesia. Bule gitu lah, tapi norak. Iya norak. Setiap kali aku ajak main, maunya ke sawah, kalau nggak ya
pengunungan tapi tetep ada unsur sawah gitu. Tahu kenapa? Karena dia mau selfie
di situ, dikit-dikit aku suruh fotoin terus di-upload gitu. Cowok mana yang nggak bete kalau wanitanya begitu.
Putus deh.
Udahlah,
hari gini bahas mantan. Nggak move on-move on repot deh. Sekarang aku jomblo
nih. Siapa yang mau sama aku, angkat kakinya! Eh swear kalau aku jomblo, apa kata anak sekolah ya. Aku kan terkenal
dengan sebutan manusia ‘playboy’? Udahlah
nggak usah di pikir Bro, ini mau Ulangan Tengah Semester (UTS). Selama UTS
berlangsung, aku sebel. Orangtuaku malah sibuk terus dengan pekerjaan. Kalau
pulang pasti malem. Kalau nggak ya selalu saja berantem.
“Aku tertekan
Ma, Pa. Kalian selalu berantem
mulu. Aku capek dengernya,” kataku di depan mereka pada malam itu.
“Mama kamu itu
yang selalu saja memancing emosi Papa,” kata Papa.
“Iya Papa itu
kan. Kalau Papa nggak selingku, Mama nggak mungkin akan seperti ini,” bantah
Mama.
“Dia itu bukan
selingkuhan Papa, Ma. Dia itu sekretaris baru Papa.”
“Udah lah Ma, Pa.
Kalau begini terus, Rio pergi dari sini.”
Waduh, kalau aku
pergi dari sini nanti aku tinggal di mana? Di pinggir jalan? Ah nggak, nggak.
Batinku. Kemudian aku pergi ke kamar. Nampaknya mereka sudah nggak berantem
lagi. Tidur ajalah.
Pagi
harinya aku berangkat sekolah, untuk UTS. Pagi-pagi dikasih soal matematika.
Semalam nggak belajar dan paginya matematika. Pusing pala Barbie. Nyontek temen
ajalah.
“Sstttt…
sssttttt… nomor 1,2,3,4,5 apa jawabnya?” tanyaku pada Jerry, temenku yang
terpandai. Ya meski sekelas ranking sepuluh sih, tapi lebih lumayan dari pada
aku dan Gugun.
“A, e, c, nomor
empat belum, b,” jawabnya dengan memegang dahi sebagai jawaban a, pegang dagu
sebagai jawaban e, pegang hidung untuk c, mata untuk b. Ya pintar-pintarnya
kami lah untuk mengelabuhi guru.
“Kalau nomor 7,
8, 9 ,10 apa?” tanyaku lagi.
“Apa?” Tanya
Jerry, kurang jelas.
“Nomor 7, 8,..”
Tiba-tiba ada yang berteriak dari depan sana.
“Rio! Kerjakan
sendiri. Kalau kamu ketahuan nyontek lagi, saya ambil lembar jawab kamu. Mengerti!”
Teriak guru pengawas ujian dengan menatap mataku lekat-lekat.
Busyeet aku
belum sempat tahu jawabannya malah ketahuan. Hah. Kerjakan sendiri deh.
Bel berdering
tanda usainya ujian hari itu. Aku dan temen-temenku pergi ke kantin.
Di perjalanan
menuju kantin Gugun berceramah. “Makanya
belajar dong!” kata Gugun.
“Diem lu ah.
Sebel aku. Nilai ku gimana nih bro?”
“Itu mah….
tanggung aja sendiri, hahaha,” ucap gugun yang diikuti gelak tawa
teman-temannya.
Aku pun pesan minuman di
kantin. Saat balik, aku nabrak perempuan, dan yaah minumanku tumpah di rok dia.
Basah deh. Sebisaku minta maaf, dan langsung
membersihkan rok dia yang terkena noda. Saat
asyiknya ngusap seragam dia, secara nggak sadar aku memandanginya. Dia cantik,
putih, bersih, rambutnya di kucir pakai karet warna merah. Begitu indah saat ku
tatap. Apalagi tanganku yang menyenggol tangan dia, begitu halus kurasa. Ohh
bidadari jatuh dari mana ini. Aku baru melihatnya. Kenalan ah.
“Hai, maaf
banget ya. Aku nggak sengaja ini. Beneran deh nggak sengaja,” kataku basa-basi
sambil mengusap roknya. Dia nggak menjawab sekata apapun, dan justru langsung pergi begitu
aja ninggalin aku. Mungkin mau ke toilet bersihin seragamnya.
“Woii… Ada apa
sih? Heboh,” kata Jerry sambil menepuk pundakku.
“Ngagetin aja sih
lu. Dia siapa ya? Anak baru?” tanyaku penasaran. Aku terus memandangnya sampai
dia benar benar masuk ke toilet.
“Hah, kudet lu
ah. Dia itu anak IPA 1. Ah nggak gaul sih lu,” jawab Jerry bercanda. Aku nggak
bisa berkata-kata apa lagi. Kalau siswa di kelas itu biasanya anaknya
pinter-pinter. Hebat deh.
Saat aku mau
pulang, aku lihat dia lagi. Dia seperti lagi menanti seseorang. Dan aku nggak
tau sih siapa yang di nanti itu. Samperin aja.
“Hai,sore… Aku
anterin pulang yuk. Ya hitung-hitung karna kesalahanku tadi di kantin sih. Mau
ya?” kataku merayu.
Aku mengendarai
sepeda motor warna merah. Ya malas aja sih bawa mobil, apa lagi jalanan kalau
macet, nggak sabar aku. Balik ke cewek manis itu. Dia nggak respon aku sama
sekali, seperti tadi waktu di kantin. Pikirku, ini anak nggak bisa ngomong apa
ya? Hush.. Jangan berprasangka buruk.
Beberapa saat
kemudian aku melihat dia dijemput menggunakan mobil berwarna merah. Iya warna
merah, sama seperti tas punggungnya, dan karet kucirnya itu. Kurasa dia suka
warna merah. Tanpa bilang sekata apapun, dia meninggalkanku di depan sekolah
tempat dia menunggu untuk di jemput.
“It’s oke lah,” gumamku dengan muka kecewa.
Pagi hari, ya
seperti biasa aku duduk di kursi ruang makan untuk sarapan pagi bersama keluarga
yang kurang harmonis. Seperti biasa lah, tapi
kali ini orangtuaku ribut karena masalah sabun
yang jatuh di lantai. Ya ampun, masalah seperti itu aja diperbesar. Aku sama
kakakku, kak Amel, langsung aja meninggalkan rumah yang seperti neraka ini.
Sewaktu di
perjalanan, aku memikirkan perempuan cantik itu. Terasa bergetar hatiku. Padahal
kan baru pertama kali aku bertemu dengannya. Rasanya ingin ku kenal lebih dalam
tentangnya. Sesampainya di sekolah, aku masuk kelas. Eh, kelasnya masih sepi
banget. Bisa jadi aku berangkat terawal.
“Mmm… enaknya
kemana ya kalau pagi gini? Kantin ajalah, pasti rame.”
Saat
hampir sampai ke kantin, aku melihat gadis manis itu, duduk di pinggir lapangan
sendiri, lagi baca buku. Cuss langsung deh, aku samperin dia.
Sambil basa
basi, aku main basket aja lah di depan dia. Itung-itung cari muka lah ya. Aku
lebih suka bola basket karena aku dari kecil diajarin sama papaku main ini.
Bolak balik aku main basket di depannya dan nampaknya dia melihatku yang sedari
tadi main. Aduh. jadi grogi deh Abang.
Tak
lama kemudian, ada temen-temen yang dateng ikutan main ini denganku. Makin
menambah suasana nih. Beberapa menit main, tiba-tiba bolanya terlempar ke arah
gadis manis ini. Bolanya berada di samping kakinya. Kesempatan banget aku bisa
deket dia lagi. Kemudian aku mendekatinya.
“Halo… selamat pagi…Sendirian
aja nih Neng?” Godaku, agar dia mau bicara denganku. Tidak ada balasan lagi.
“Kok diem aja
sih? Kenalin namaku Rio. Kamu siapa?” Aku menjulurkan tanganku untuk dapat
bersalaman dengan gadis manis ini.
“Namaku Ria
kak,” sembari menyalamiku. Wah, seneng banget rasanya. Tangannya dingin,
lembut, seperti busa. Kemudian aku melanjutkan perkenalanku.
“Wah, nama kita
sama ya, aku Rio kamu Ria. Kalau keturunan kita di kasih nama Rie dong,” godaku
padanya. Kemudian temen-temenku memanggilku.
“Riiiiooo!!!!
Ngambil bola aja lama banget. Cepatan woi!!!” Teriak Gugun sahabatku.
Gugun
benar-benar mengganggu moment
istimewa itu. Kemudian, aku mengambil bola dan kembali ke lapangan. Aku melihat
dia, pergi. Dan aku yakin, dia pasti mau masuk kelas.
Aku ikuti dia.
Ternyata dia masuk kelas yang kosong. Namun, di situ sudah ada banyak siswa
lain yang jumlahnya sekitar sepuluh orang. Aku sedikit mendengar diskusi
mereka. Mereka membahas soal matematika. Aku berpikir, kok diskusi tentang
matematika ya, nggak salah? Kemudian aku berpikir, kalau dia pinter terus aku
pas-pasan gini, nanti aku yang malu. Sekarang aku harus punya komitmen. Aku
harus bisa jadi orang pinter biar nggak malu-maluin kalau dia jadian sama aku. Setelah itu, aku pulang
dari sekolah yang biasanya main PS, sekarang aku belajar.
“Wah, rajin
banget ya adikku ini. Kesambet apa nih?” Tanya kak Amel menggoodaku.
“Aku tahu nih
pasti ada yang bikin kamu kasmaran kan? Soalnya nggak biasanya kamu gini loh,” lanjutnya.
“Ah, Kak Amel
pergi sana. Jangan ganggu aku. Mumpung lagi doyan belajar ini,” pintaku sambil
mendorong Kak Amel untuk pergi dari kamarku. Kamipun tertawa bersama.
Aku nggak sabar
nunggu sampai besok pagi. Aku jadi pengen telepon
Ria deh. Untung
tadi aku minta nomornya lewat temenku yang sekelas dengannya.
Beberapa
saat kemudian, Ria mengangkat telfonnya. “Halo…Maaf, siapa ya?”
tanyanya dengan penuh kesopanan.
“Hai, ini aku
Rio, yang tadi kenalan sama kamu di lapangan itu. Masih inget kan? Pastinya
dong. Kan aku ngangenin” godaku sambil mencairkan suasana agar nggak garing.
“Iya, aku masih
inget kamu kok. Ada apa ya Rio?” tanya Ria.
Waduh, aku
bingung harus ngomong apa dan aku juga ngerasa gengsi. Setelah berpikir panjang
sedikit lama juga sih. Kemudian aku punya ide.
“Gini, kamu tahu
nggak soal matematika yang di paket halaman 120? Aku belum paham nih. Kamu kan
pinter. Jadi aku hubungi kamu deh,” tanya Rio sembari mencari alasan untuk bisa
bicara dengan Ria.
“Iya tahu, belum
paham ya? Ya udah besok istirahat pertama kamu ketemuan sama aku di kantin,”
kata Ria memberi penawaran.
Spontan aku
bahagia sekali. Dan setelah lama ngobrol di telepon, aku tahu dia orangnya
asik. Dan bahagianya besok pagi,
aku boleh jemput dia di rumahnya. Surga buat aku bisa jemput gadis manis
seperti dia.
Keesokan
paginya, aku jemput dia. Rumahnya besar, bagus dan terawat. Saat itu aku
menggunakan motor merahku, dan dia bonceng aku. Setelah sampai di sekolah, aku
nganterin dia ke kelasnya. Banyak temen-temen yang godain aku sama dia. Malu
deh aku.
Saat istirahat
berlangsung, aku menemuinya dan kita belajar bareng di bawah pohon yang
rindang. Aku memandanginya saat dia menjelaskan rentetan rumus matematika.
Sangat cantik, dan sangat pintar. Beruntung aku bisa berkenalan dengannya. Hari
berganti hari dan seterusnya, aku dengannya semakin akrab dengan matematika
ini. Hari-hariku juga sangat berubah saat aku belajar dengannya. Misalnya saja
saat ulangan berlangsung, nilaiku biasanya paling tinggi ya cuma 50. Sekarang
nilaiku bahkan bisa melambung tinggi sampai 90. Thanks to matematika.
Perasaanku kepada Ria semakin kacau
karenanya. Aku semakin resah karena perasaanku yang terus tumbuh untuk selalu
mengaguminya. Ku putuskan untuk nembak dia. Tapi aku takut kalau nanti aku di
tolak. Tapi tak apalah di tolak. Dari pada aku pendam rasa ini terus.
Saat dia
mengajariku matematika di sebuah kafe dekat rumahnya, aku coba memberanikan
diri untuk mengungkapkan semua ini.
“Oke, jadi
sekarang kamu sudah paham kan materi ini?” tanyanya. Namun aku terus
menandangnya tajam. Dan membuatnya merasa kikuk. “Rio, kamu lihat aku terus
kenapa sih?”
“Aku mau bicara
sesuatu sama kamu,” aku memberanikan
diri untuk bicara terus terang. “Ria, selama ini aku suka sama kamu. Kamu nggak
perlu kok jawab pernyaatan ini. Aku cuma mengungkapkan apa yang aku rasakan
selama ini aja,” ungkapku.
Ya ampun,
gemetar seluruh tubuhku. Aku harap Ria juga suka sama aku. “Maaf kalau bikin
kamu marah karena kejujuran aku.”
Kemudian, tak kusangka.
Ria berdiri di depanku dan meninggalkan aku pergi. Aku merasa sedih karena aku tahu kalau dia
tidak menyukaiku selama ini. Aku menundukkan kepala, meratapi nasib yang
menimpa diriku ini. Setelah aku pikir, kenapa aku menyerah seperti ini? Aku kan
hanya mengungkapkan apa yang ku rasa selama ini. Kemudian aku kejar dia. Ku
pegang tangannya, dan dia balik badan sambil menangis.
“Kamu kenapa?
Maaf kalau aku salah. Jangan nangis ya. Nanti aku belikan balon untukmu,” candaku
untuk mencairkan suasana. Kemudian dia memelukku, dan dia berkata.
“Sempatnya ya
kamu bercandain aku,” jawabnya sambil tetep menangis di pelukanku. Aku terpaku.
Seperti orang mati berdiri di tempat ini. “Aku juga suka sama kamu. Bahkan kamu
yang bisa buat aku seperti ini. Makasih ya,”
ucapan Ria membuatku terus terpaku. Kutunggu datangnya
kata di setiap bibirnya yang membuatku terus diam.
“Kamu kok nggak bicara sih? Maaf kalau
membuatmu marah,” kata Ria kemudian
dia melepaskan pelukannya.
“Serius? Kamu
cinta aku?” dia mengangguk-angguk dan itu membuatku bahagia. Saking bahagaianya
aku loncat-loncat kegirangan di depan kafe. Sampai orang-orang melihat tingkah
lakuku yang konyol. Aku sangat berterima kasih sekali dengan metematika.
Dari kejadian
itu, aku suka dengan pelajaran matematika. Karena matematika itu adalah ilmu
pasti. Dan aku mencintainyapun karena pasti. Dan dari situlah aku mendapat
hidayah untuk tidak menyontek saat ulangan berlangsung. Thanks to mathematic.