M
|
TAMPILKAN MUSIKASILASI PUISI: Salah satu penampil perwakilan
dari Fakultas Pertanian unjuk bakat
dalam musikalisasi puisi
pada Gelar Sastra, Jum’at (17/6).
|
ahasiswa
Universitas Tidar (Untidar) diingatkan kembali untuk menumbuhkan rasa cintanya
terhadap sastra. “Gelar Sastra” pada Jum’at (17/6) kemarin, seolah menjadi
gertakan tersendiri bagi mahasiswa untuk tidak menghilangkan sastra dalam
kehidupan yang dirasa sudah mulai luntur rasa kepeduliannya terhadap pentingnya
menjaga kelestarian sastra. “Karena kecintaan mahasiswa terhadap sastra sendiri
semakin luntur,” tutur Ketua Pantia Gelar Satra, Muhammad Raharjo.
Mengusung tema “Menunggu Senja Sambil Bersastra”,
acara yang berlangsung di lapangan FKIP tersebut berhasil menarik partisipan
mencapai peserta yang tampil dari masing-masing perwakilan tiap prodi ataupun
tiap fakultas serta dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Deretan penampilan
seperti teater dan monolog; akustik; musikalisasi puisi; serta stand up comedy,
disuguhkan kepada penonton sambil menghabiskan waktu menunggu buka puasa tiba.Berbicara mengenai sastra, sastra mungkin berkaitan
erat dengan bahasa. Akan tetapi pelaku sastra tak harus dari orang yang
berlatarbelakang bahasa. Inilah yang coba ditunjukkan dan digaris bawahi oleh
Himpunan Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia (HIMPRO PBSI)
“Gelar Sastra”, mengingat bahwa setiap orang bisa saja memiliki bakat terpendam
dan tidak tahu menuangkan bakat tersebut di mana. “Ini wadahnya. Memberikan
kebebasan dan ruang seluas-luasnya kepada seluruh mahasiswa yang mungkin
memiliki bakat terpendam,” ujar Rangga Asmara, S.Pd., M.Pd., Kepala Program
Studi (Kaprodi) PBSI.
Sebenarnya ini bukan kali pertama HIMPRO PBSI
mengadakan pagelaran sastra. Tahun lalu acara yang sama dengan nama yang sama
juga diadakan. Namun hanya sebatas mimbar bebas sebagai tempat mereka
menampilkan apa yang ingin mereka tunjukkan. Kali ini ada yang berbeda dari
Gelar Sastra sebelumnya. Dekorasi yang sederhana namun bermakna dan tersembunyi
filosofi di baliknya. “Dua topeng dan dua ekspresi yang berbeda itu menunjukkan
kondisi Indonesia saat ini. Yang sedang tertawa diibaratkan pemimpin dan yang
menangis adalah rakyatnya,” tutur Raharjo.
Lukisan dari serbuk gergaji yang menjadi dekorasi
utama dalam Gelar Sastra tersebut merupakan hasil karya mahasiswa PBSI yang
memenangkan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) tahun lalu. Seperti yang
dipaparkan Raharjo, lukisan tersebut memiliki makna bahwa pemerintah seakan tak
acuh terhadap kondisi sastra di Indonesia saat ini yang menjadikan masyarakat
semakin miris sebab sastra seolah-olah berguguran dengan sendirinya. Padahal
Indonesia memiliki banyak rakyat yang mempunyai banyak bakat dan potensi besar,
namun belum dikembangkan dan diberi perhatian. “Sastra sekarang kebanyakan
malah yang tua-tua, anak mudanya malah seperti malu ketika bersastra,”
tambahnya. (Flo/ Lpm Mata)